Upaya Peningkatan Kemampuan Menulis
dan Kualitas Karya Tulis Ilmiah Guru
Oleh Drs. Nur Kholiq
Adalah berita yang sangat memprihatinkan sehubungan dengan banyaknya guru di tanah air yang tertahan pangkat/golongannya pada level IV/a. Menurut Sumarna Surapranata setidaknya ada 342.000 guru terpaksa memperpanjang waktu untuk menghuni golongan tersebut (Pikiran Rakyat, 1 Maret 2009).
Salah satu faktor penyebab utama terjadinya kasus di atas, dikatakan karena guru-guru kurang mampu menulis karya ilmiah. Penulisan karya ilmiah untuk golongan IV/a ke atas memang dapat dikatakan suatu keharusan. Tanpa penulisan karya ilmiah pada tingkat tersebut sangat kecil kemungkinan seorang guru dapat memenuhi angka kredit sesuai dengan tuntutan jabatan fungsional yang jumlahnya relatif tinggi.
Kasus tersebut menjadi menarik karena justru terjadi pada profesi guru yang semestinya akrab dengan dunia tulis-menulis. Ada atau tidak ada tuntutan pemenuhan angka kredit jabatan fungsional, sudah seharusnya guru mempunyai kemampuan menulis untuk menunjang keberhasilan profesi mereka. Mengapa demikian?
Pertama, guru dalam fungsinya sebagai penggali dan penerus ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya wajarnya tidak cukup hanya disampaikan secara lisan, tetapi juga harus melalui tulisan. Idealnya materi karya tulis ilmiah tersebut ditulis oleh guru itu sendiri. Fungsi guru sebagai pewaris ilmu nampaknya akan lebih bermanfaat apabila penyebarannya juga dilakukan melalui karya tulis ilmiah karena tidak hanya dapat dinikmati oleh murid-murid tetapi juga oleh masyarakat luas.
Kedua, berbagai persoalan praktik pendidikan di sekolah mestinya guru lebih memahami permasalahannya dan tahu bagaimana cara memecahkannya. Karya guru dalam menulis persoalan sekolah bagaimanapun lebih dapat dipertanggungjawabkan karena guru mengalami sendiri persoalan yang ditulis. Guru-guru dalam hal ini mestinya mempunyai kepercayaan diri dan diharapkan mampu berperan sebagai pihak yang paling tahu tentang permasalahan yang tengah terjadi di sekolah. Bagaimanapun pihak-pihak luar yang menulis tentang sekolah kadang hanya tahu persoalan kulitnya saja atau hanya memahami persoalan sekolah secara parsial. Sayangnya guru-guru kita selama ini nampaknya lebih banyak menyerahkan penulisan persoalan sekolah kepada pihak luar. Padahal masyarakat sebetulnya sangat mengharapkan agar guru aktif menulis, terutama dalam bentuk artikel ilmiah populer di media massa. Contohnya, Forum Guru di harian Pikiran Rakyat Bandung yang artikelnya hampir 100 persen ditulis oleh guru cukup diminati oleh masyarakat.
Ketiga, menulis merupakan sarana melatih berpikir logis, sistematis, argumentatif, penggunaan bahasa, dan lain-lain. Semuanya kemampuan yang dibutuhkan dalam kegiatan menulis tersebut sangat mendukung profesi guru, baik dalam proses belajar-mengajar maupun dalam berdiskusi dan memecahkan suatu masalah.
Keempat, guru juga sewajarnya berfungsi sebagai pembimbing dalam penulisan karya ilmiah bagi murid-muridnya. Berbagai pembaruan dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang berintikan kemandirian dalam belajar menuntut agar siswa-siswa mampu membuat karya ilmiah. Keterampilan tersebut tentunya juga sangat mendukung adanya program life skill yang tengah digalakkan di dunia pendidikan kita.
Dalam proses penulisan karya ilmiah murid tersebut sangat diperlukan adanya pembimbing yang betul-betul mengerti tentang dunia tulis-menulis. Keterampilan tulis-menulis idealnya tidak hanya perlu dikuasai oleh pembimbing tetapi juga harus dikuasai oleh semua guru yang terlibat dalam proses belajar-mengajar. Fungsi guru dalam hal ini diharapkan tidak hanya bertindak sebagai pembimbing tetapi juga sebagai model dalam penulisan karya tulis ilmiah. Konsekuensinya tentu saja guru pun harus berkarya dan mampu menunjukkan contoh tulisan yang baik untuk dipelajari dan dikaji oleh murid.
Hal yang menjadi pertanyaan besar di sini adalah apakah fungsi guru sebagai pembimbing dan model tersebut selama ini telah dijalankan? Apabila telah dijalankan, bagaimanakah tingkat kualitasnya?
Pertanyaan seperti itu sangat wajar diajukan mengingat ada indikasi kuat seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kegagalan guru dalam kenaikan pangkat ke tingkat IV/b berasal dari faktor ketidakmampuan guru dalam menulis karya ilmiah. Apabila guru-guru kita telah akrab dengan kegiatan tulis-menulis mestinya persoalannya tidak separah seperti sekarang. Bisa dibayangkan bagaimana tingginya tingkat kegagalan guru dalam mencapai pangkat/golongan IV/b yang diyakini diakibatkan oleh ketidakmampuan menulis karya ilmiah yang mencapai 99,37 persen.
Guru-guru bisa saja berkilah atau menyalahkan tim yang menilai karya tulis dengan mengatakan kriteria dalam penilaian terlalu tinggi sehingga tidak sesuai dengan kemampuan rata-rata guru. Atau berkembangnya persepsi lain yang menganggap penolakan karya ilmiah merupakan kesengajaan dengan tujuan membatasi jumlah guru pada tingkat IV/b ke atas.
Dalam menyikapi masalah ini sebaiknya semua guru tidak terburu-buru dalam mengambil kesimpulan sebelum adanya fakta yang jelas. Hal yang perlu dilakukan guru sehubungan dengan kasus itu adalah berpikir positif dan obyektif dan siap menginstropeksi diri sendiri. Membela diri dengan mengabaikan fakta yang sebenarnya hanya akan melahirkan persoalan baru sehingga akan memperumit pemecahan persoalan pokoknya. Dengan tidak mengesampingkan kebenaran faktor x seperti yang disinyalir oleh banyak guru tentang penolakan karya tulis ilmiah dari tim penilai, tentunya fakta kekurangmampuan menulis banyak guru tidak bisa diabaikan begitu saja. Suka atau tidak, sulit untuk diingkari bahwa fakta itu memang banyak terjadi di kalangan guru.
Indikator Kesulitan Guru dalam Menulis
Ada beberapa indikator yang mengisyaratkan bahwa guru-guru kita mengalami kesulitan dalam menulis. Guru-guru dalam hal ini sebaiknya tidak berkecil hati, atau merasa harga dirinya direndahkan, karena persoalan ini sebetulnya sudah merupakan persoalan bangsa. Artinya bahwa kesulitan menulis sudah umum dialami rata-rata anggota masyarakat kita, tidak terkecuali kaum intelektual sekaliber dosen sekalipun. Ditinjau dari segi budaya pun, jelas kegiatan menulis nampaknya bukan budaya kita tetapi milik masyarakat di dunia lain yang peradabannya lebih maju. Literatur manapun tidak ada yang mengatakan bahwa budaya menulis telah eksis di tengah masyarakat Indonesia.
Kesulitan guru dalam menulis walaupun kelihatan tidak wajar dilihat dari perannya sebagai penerus ilmu, pembimbing penulisan karya ilmiah murid, dan model dalam menulis, tetapi mungkin masih bisa dimaafkan kalau ditinjau dari sudut budaya kita yang memang masih berkutat pada budaya lisan. Hal yang sulit dimaafkan adalah, bilamana guru tidak mengakui kelemahan dalam penulisan karya ilmiah, apalagi ada indikasi yang cenderung mengambinghitamkan pihak lain. Dalam hal ini upaya pertama yang perlu diupayakan adalah mendudukkan persoalan secara proporsional atas kebenaran kekurangmampuan atau kesulitan guru dalam menulis. Sehubungan dengan itu, kondisi dan fakta yang dikemukakan berikut ini mungkin bisa dijadikan indikator agar duduk perkaranya semakin jelas.
Pertama, bahwa jumlah penerbitan buku yang ditulis oleh guru relatif masih kurang dibandingkan dengan jumlah guru ada sekitar 2,7 juta orang. Kurangnya jumlah penerbitan tersebut bagaimanapun sedikit-banyaknya berkorelasi dengan kemampuan menulis guru.
Kedua, tidak adanya budaya menulis di sekolah. Hal ini dapat terlihat dari proses pembelajaran yang jarang mampu merangsang murid agar tergerak untuk menulis. Atau paling tidak guru mau mengintegrasikan kegiatan menulis dengan mata-mata pelajaran. Dalam hal ini hendaknya pembelajaran menulis tidak hanya dibebankan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia saja , tetapi bila perlu untuk semua mata pelajaran. Dengan cara ini secara otomatis semua guru pun akan terkondisikan untuk melakukan pembimbingan sehingga mereka pun tergerak untuk belajar menulis.
Tidak berkembangnya sarana menulis berupa majalah atau jurnal sekolah merupakan petunjuk lain tidak adanya budaya menulis di sekolah. Umumnya majalah atau jurnal sekolah tidak berkembang disebabkan karena kurangnya artikel yang masuk dari warga sekolah. Hal ini sangat berbeda apabila sebuah sekolah berhasil membudayakan kegiatan menulis maka biasanya justru redaksi majalah akan kebingungan menyeleksi artikel yang masuk karena jumlahnya sangat banyak.
Petunjuk lainnya yang mengisyaratkan tidak adanya budaya menulis di sekolah dapat dilihat dari kondisi perpustakaan sekolah sebagai penopang utama kegiatan menulis yang sangat tidak memadai, bahkan banyak di antaranya yang terkesan keberadaannya sekedar formalitas belaka. Kepala sekolah dan guru pun nampaknya tidak terlalu keberatan dengan kondisi seperti demikian. Buktinya sampai saat ini kondisi perpustakaan sekolah kita dapat dikatakan belum mengalami perkembangan yang signifikan. Dunia lain boleh saja berteriak dengan slogan Information is Power atau We Can Do It with Information, tetapi nampaknya sekolah tidak mau tahu tentang itu. Sekolah kita nampaknya merasa lebih perkasa dengan slogan We Can Do It Without Information. Sikap seperti itu tidak aneh dan logis adanya karena informasi belum dijadikan sebagai kebutuhan, khususnya untuk menunjang kegiatan menulis. Apabila kegiatan menulis sudah membudaya di sekolah maka guru-guru pun pasti berteriak dengan keras, “We Can’t Do it Without Information!”.
Ketiga, di kota Jepara saja paling tidak dapat bekerjasama dengan LPMP yang menyelenggarakan program peningkatan kemampuan menulis karya ilmiah untuk guru. Program yang sama mungkin juga dilakukan oleh LPMP yang lain. Dengan adanya program tersebut jelas merupakan bukti, atau paling tidak merupakan indikasi kuat bahwa guru-guru kita dianggap masih mengalami kesulitan dalam menulis. Bagaimanapun penyelenggaraan diklat oleh kedua LPMP logisnya dilatarbelakangi oleh kesulitan guru dalam menulis.
Keempat, dalam harian Pikiran Rakyat (1 Maret 2009) seorang kepala sekolah dengan gamblang mengakui bahwa rekan-rekannya memang mengalami kesulitan dalam menulis karya ilmiah. Tidak tertutup kemungkinan bahwa apa yang dikemukakan oleh kepala sekolah tersebut merupakan representasi persoalan guru yang sebenarnya.
Mengapa Guru Sulit Menulis?
Kesulitan dalam proses penulisan akibat ketidakmampuan menulis dapat mengakibatkan frustrasi yang disertai dengan perilaku bermacam-macam. Dalam kenyataannya ada guru yang mogok menulis karena bingung apa yang harus dikerjakan ; ada yang mengajukan karya tulis sendiri kepada tim penilai secara berulang-ulang dengan merekayasa judul ; ada yang mendaur-ulang karya orang lain ; atau ada pula secara terang-terangan melanggar hak cipta dengan meng-copy-paste karya orang lain.
Dengan banyaknya dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari kesulitan menulis, maka nampaknya persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Bagaimanapun persoalan kesulitan dalam menulis tidak semata berhubungan dengan pengumpulan angka kredit melalui penulisan karya ilmiah, tetapi berkaitan juga dengan kualitas proses pembelajaran di sekolah. Bisa dibayangkan bagaimana tingkat kualitas lulusan yang dihasilkan dalam hal menulis, apabila gurunya sendiri tidak mampu menulis. Sehubungan dengan itu kita patut mengetahui faktor-faktor penyebab mengapa banyak guru kita yang mengalami kesulitan dalam menulis. Idealnya perlu dilakukan penelitian agar dapat diketahui dengan pasti faktor-faktor penyebabnya sehingga memudahkan untuk mencari jalan keluarnya.
Faktor-faktor penyebab kesulitan menulis yang dikemukakan berikut ini tidak berdasarkan hasil penelitian khusus terhadap guru. Faktor-faktor penyebab kesulitan yang dikemukakan bersifat umum, dengan pengertian bahwa faktor-faktor tersebut besar kemungkinan terjadi juga pada guru.
Pertama, disebabkan karena kurang membaca. Kegiatan membaca dapat dikatakan sebagai faktor kunci dalam menulis. Penulis besar sekalipun tidak akan dapat berbuat banyak apabila tidak membaca berbagai literatur sehubungan dengan materi yang ditulis. Dengan banyaknya seseorang menguasai informasi maka ada kecenderungan semakin mudah pula ia dalam menulis. Kalau Anda sering menulis pasti pernah merasakan bagaimana sulitnya menulis bilamana tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang topik yang ditulis. Tulisan pun terasa kering, monoton, bahkan bisa menjadi subyektif karena kekurangan data dan informasi pendukung.
Pengetahuan sebagai hasil membaca dalam hal ini tidak hanya berguna sebagai pendukung atau penolak ide atau gagasan, tetapi juga berguna sebagai bahan inspirasi dalam menemukan masalah. Tidak sedikit penulis berhasil menemukan masalah dari literatur yang dibaca. Makin banyak seseorang membaca maka akan semakin banyak pula perbendaharaan masalah yang dimiliki. Dengan terinventarisasinya banyak masalah maka si penulis akan lebih mudah memilih masalah yang sesuai dengan kepentingan dan kondisi penulis.
Kegiatan membaca tidak hanya berguna untuk penguasaan informasi dan sarana untuk menemukan masalah, tetapi dapat juga dijadikan sarana pembelajaran dari berbagai model dan gaya bahasa penulis melalui bahan yang dibaca. Berbagai artikel di media massa misalnya sangat kaya dengan model tulisan dengan teknik pembahasan dan pemecahan masalah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kalau berhasrat untuk menulis maka dituntut adanya kepedulian dan minat untuk mempelajari setiap tulisan untuk menambah wawasan dan kematangan dalam menulis. Untuk tahap awal tidak ada salahnya tulisan-tulisan yang dibaca dijadikan model penulisan sebelum menemukan jati diri sendiri. Dalam hal ini calon penulis dituntut harus mampu menjiwai dunia kepenulisan, peka dan mempunyai sense of writing yang kuat.
Hal yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana halnya dengan minat baca guru-guru kita? Guru sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang terkenal karena tidak suka membaca, tidak tertutup kemungkinan juga mengalami kondisi yang sama. Dari berbagai bahan bacaan kita ketahui bahwa tidak ada satupun kelompok masyarakat di Indonesia yang tergolong suka membaca. Kalaupun ada sifatnya sangat individual, dan tidak pernah mewakili sebuah kelompok.
Apabila demikian halnya maka tanpa bermaksud menyamaratakan untuk semua guru, kiranya faktor membaca dalam menulis harus mendapat perhatian serius. Guru boleh saja menguasai teknik penulisan, tetapi kalau tanpa membaca maka kemampuan tersebut menjadi kurang berarti. Dengan kata lain, guru boleh saja ahli dalam memasak, tetapi kalau bahan yang dimasak tidak tersedia, sampai kapanpun masakan tidak akan pernah jadi.
Kedua, kesulitan disebabkan karena kurangnya latihan menulis. Belajar menulis sama halnya dengan belajar berenang ; kalau tidak dipraktikkan tidak akan pernah bisa berenang. Makin banyak guru berlatih akan semakin baik. Penulis yang baik akan selalu belajar secara terus-menerus dari pengalaman yang didapat dari latihan tersebut. Perlu dicatat bahwa kegiatan menulis merupakan proses belajar yang tidak pernah tamat.
Melihat dari kondisi sekolah yang belum berhasil menjadikan menulis sebagai suatu budaya maka tentu akan memengaruhi frekuensi guru dalam menulis. Rendahnya frekuensi menulis bagaimanapun sama artinya dengan rendahnya frekuensi latihan menulis. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan dan akan membuat guru semakin jauh dari penguasaan keterampilan menulis.
Ketiga, kesulitan disebabkan karena kerancuan dalam berpikir. Faktor ini sering sekali terjadi sehingga tulisan kelihatan kacau dan tidak jelas alur logika yang digunakan. Pesan ilmiah yang ingin disampaikan biasanya menjadi kabur, tidak sistematis sehingga sangat sulit dipahami. Benang merah mulai dari permasalahan sampai kepada penarikan kesimpulan biasanya tidak nyambung. Oleh karena itu tidak aneh apabila sering berbeda antara permasalahan yang dikemukakan dengan pemecahan beserta penarikan kesimpulannya.
Keempat, kesulitan disebabkan karena kerancuan dalam berbahasa. Kerancuan berbahasa umumnya terjadi karena penulis tidak merasa penting aspek bahasa dalam sebuah tulisan. Padahal tanpa adanya kemampuan berbahasa maka kegiatan berpikir secara sistematik dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Bahkan lebih ekstrem lagi dinyatakan bahwa keunikan manusia bukan terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa (Suriasumantri, 1985 : 171).
Demikian pentingnya, maka setiap penulis mestinya sangat peduli dan menjaga agar bahasa yang digunakan tidak menjadi rancu. Percaya atau tidak, saya pernah menemukan sebuah kalimat dalam karya tulis ilmiah guru yang jumlahnya mencapai 85 kata. Dalam satu kalimat terdiri dari berbagai maksud. Masih untung kalau penulisnya mampu menyusun kalimatnya dengan baik sehingga gampang dipahami. Sayangnya tidak demikian sehingga untuk memahami maksudnya kita harus mampu memperkirakan arah kalimatnya yang tentu saja bisa tidak sesuai dengan maksud penulisnya. Konyolnya, ketika si penulis diminta menjelaskan apa maksud kalimat tersebut, ternyata penulisnya pun bingung sendiri.
Kerancuan dalam berbahasa sering sekali terjadi karena si penulis mencari penyakit sendiri. Menyusun sebuah kalimat dengan 85 kata bukan saja akan menyulitkan penulis, tetapi juga akan menyulitkan pembacanya. Dalam kasus di atas alangkah bijaksananya apabila kalimat tersebut dipecah menjadi beberapa kalimat sehingga risiko kerancuan berbahasa dapat dikurangi.
Upaya Peningkatan Kemampuan Menulis dan Kualitas Karya Tulis Ilmiah Guru
Untuk mengatasi berbagai persoalan menulis yang dihadapi guru, nampaknya pihak kepala sekolah tidak bisa berpangku tangan. Kepala-kepala sekolah mungkin saja selama ini telah berhasil secara kuantitatif memotivasi guru menulis yang digunakan untuk mengumpulkan angka kredit. Tetapi dalam kenyataannya sebagian besar karya-karya yang dikirimkan kepada Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Guru ditolak karena tidak memenuhi syarat. Apabila dikaji, kegagalan guru dalam menulis karya ilmiah selama ini pada intinya berhubungan dengan aspek kualitas sebagai akibat dari ketidakmampuan menulis. Oleh karena itu untuk memecahkan persoalannya seyogianya diarahkan kepada upaya peningkatan kemampuan menulis dan kualitas karya tulis ilmiah guru.
Secara kelembagaan paling tidak ada dua pihak yang dapat berperan untuk mengatasi masalah tersebut, yakni pihak sekolah dan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK). Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh kedua lembaga tersebut.
Pertama, perlu dibentuk tim pembimbing penulisan karya ilmiah yang bertugas untuk memeriksa, meluruskan, dan mematangkan materi yang ditulis oleh guru. Guru-guru akan dibimbing secara teknis, isi, dan penggunaan bahasa. Tim pembimbing terdiri dari pihak manajemen sekolah dan guru-guru senior yang mengerti tentang penulisan karya ilmiah, serta pihak-pihak lain di sekolah yang dianggap mampu mengemban tugas tersebut.
Kedua, perlu dibentuk Forum Pengkajian Karya Tulis Ilmiah Guru di setiap sekolah. Forum ini bertugas untuk mengkaji dan mendiskusikan kelayakan materi prapembimbingan dan pascapembimbingan (setelah karya tulis ilmiah selesai dikerjakan).
Ketiga, perlu dilakukan presentasi karya tulis ilmiah sebelum dikirimkan kepada Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Guru. Presentasi dilakukan di hadapan Tim Pembimbing, Forum Pengkajian Karya Tulis Ilmiah Guru, dan dihadiri oleh guru-guru sejawat.
Untuk tertibnya proses pelaksanaan akan disusun alur kegiatan yang berorientasi kepada peningkatan kualitas. Alur kerja yang diusulkan adalah sebagai berikut : Usulan Alur Kegiatan Penulisan Karya Ilmiah Guru (Penelitian, Penulisan Buku, dan Makalah)
Keempat, perlu diintensifkan lomba penulisan karya tulis ilmiah di lingkungan internal sekolah dengan pemberian penghargaan yang menarik bagi juara. Penghargaan yang dimaksudkan tidak hanya berupa pemberian piagam atau hadiah barang, tetapi juga penghargaan dalam bentuk lain seperti kesempatan mengikuti lomba pada tingkat yang lebih tinggi, penghargaan terhadap karier, mengikuti pelatihan, atau diberikannya kesempatan sebagai anggota Tim Pembimbing Penulisan Karya Ilmiah Guru (kalau ada).
Kelima, perlu digalakkan penulisan karya tulis ilmiah bagi murid. Dengan cara itu diharapkan terjadi proses pembelajaran bagi guru sebagai pembimbing dan murid sebagai penulis. Pengkondisian seperti ini kalau dilakukan secara konsisten maka diharapkan terjadi “pemaksaan” belajar secara positif karena bagaimanapun guru-guru akan malu sebagai pembimbing kalau diri sendiri tidak mampu menulis.
Keenam, perlu dilakukan workshop penulisan karya ilmiah atau ceramah secara priodik di setiap sekolah dengan mengundang penulis-penulis yang handal atau para kolumnis di media massa. Terutama untuk penulisan di media massa, tentunya menimba pengalaman dari para kolumnis sangat perlu.
Ketujuh, perlu dilakukan pembenahan dan penyempurnaan sarana sumber informasi di sekolah. Bagaimanapun tanpa ditunjang oleh informasi guru-guru akan Penulis Menyiapkan Desain Penulisan/Proposal Pembahasan Oleh Forum Pengkajian Karya Tulis Ilmiah Guru Penyempurnaan Desain/Proposal Oleh Penulis Pengajuan Desain/Proposal kepada Tim Pembimbing Proses Penelitian, Pelaporan/Penulisan Buku dan Makalah Pembahasan Bersama Oleh Forum Pengkajian Karya Tulis Ilmiah, Tim Pembimbing, dan Penulis Penyempurnaan Kembali Oleh Penulis Presentasi Penyempurnaan Kembali Oleh Penulis Pengajuan Kepada Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Guru kesulitan dalam menulis. Sarana informasi yang perlu diperhatikan adalah perpustakaan dan fasilitas internet.
Kedelapan, LPMP perlu mengintensifkan diklat penulisan karya tulis ilmiah karena jumlah guru yang membutuhkan sangat besar. Jumlah guru yang memerlukan diklat yang sifatnya darurat (guru-guru yang tertahan pangkatnya pada golongan/tingkat IV/a) saja paling tidak ada 342.000 orang. Andaikan saja semua LPMP melakukan diklat penulisan karya tulis ilmiah maka jatah konsumen potensial setiap LPMP ada sekitar 28.500 orang. Apabila semuanya diproyeksikan mengikuti diklat tentu penuntasannya memerlukan waktu yang relatif lama. Jumlah peserta diklat akan semakin besar lagi apabila calon peserta diperluas kepada guru-guru lainnya yang akan memasuki golongan/pangkat IV/a. Padahal justru calon peserta diklat penulisan karya tulis ilmiah mestinya ditujukan kepada guru-guru pada pangkat/golongan sebelum IV/a, bukan pada saat guru telah menduduki pangkat/golongan tersebut.
Memperhatikan kondisi di atas bagaimanapun LPMP saat ini tidak bisa lagi melakukan penanganan secara biasa, tetapi memerlukan penanganan luar biasa dengan mengerahkan segala potensi, sumber daya, bahkan memanfaatkan semua otoritas dengan memfasilitasi kegiatan diklat melalui kerjasama dengan pihak lain atau dengan membuka outlet-outlet pelatihan di daerah. Tanpa upaya seperti itu nampaknya target kuantitatif dan kualitatif peningkatan kemampuan guru dalam menulis akan sulit terpenuhi secara menyeluruh
Kesembilan, LPMP dalam menyelenggarakan kegiatan diklat guru (pola 1 bulan ke atas) perlu membuat kebijakan baru dengan mewajibkan peserta membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk makalah sebagai salah satu syarat kelulusan. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan menulis semakin terbiasa, sehingga pada akhirnya diharapkan membudaya.
Mudah-mudahan dengan memperhatikan dan melaksanakan hal-hal yang telah dikemukakan di atas kemampuan guru dalam menulis dan kualitas karya tulis ilmiah guru dapat meningkat. Untuk itu sangat diharapkan adanya perhatian serius dari berbagai pihak terutama dari kepala sekolah dalam perannya sebagai motivator dan fasilitator. Demikian juga halnya guru sebagai faktor kunci kiranya perlu mengubah pandangan dan sikap dengan menempatkan kegiatan menulis sebagai salah satu kegiatan penting dalam profesinya. Bagaimanapun fakta kegagalan dalam menulis karya ilmiah mestinya cukup memberikan pelajaran yang berharga bagi guru bahwa kegiatan menulis tidak bisa dianggap sepele. Dalam hal ini kita harapkan supaya guru mampu bersikap dan bertindak profesional sehingga tidak tersandung pada batu yang sama untuk kedua kali.
Daftar Kepustakaan
Surapranata, Sumarna. Pikiran Rakyat, 1 Maret 2009.
Suriasumantri, Jujun S. (1985). Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan.
0 komentar:
Posting Komentar