Selasa, 31 Januari 2012

Jadwal Pra UN dan US SMA Kab. Jepara 2012

Minggu, 29 Januari 2012

Program Penyusunan naskah soal Semester Genap TP.2011/2012

MUSYAWARAH KERJA KEPALA SEKOLAH
MKKS SMAKABUPATEN JEPARA
Sekretariat : Jl. Raya Bangsri – Keling, Km 6 Kembang
( (0291) 7730048, * 59453
 


Nomor: 09/MKKS/SMA-XII/2011                                                      Jepara,2 Desember 2011
Lamp.  : 3 Lembar      
H a l    : Program Penyusunan naskah soal
  Semester Genap TP.2011/2012
                                                                                                                 Kepada Yth :
Ketua MGMP Seni Budaya
SMA Kabupaten Jepara
Di Tempat.

Bersama ini diberitahukan dengan hormat bahwa sesuai ;
1.      Kalender Pendidikan Propinsi Jawa Tengah Tahun Pelajaran 2011/2012 ;
2.      Agenda program kerja MKKS pada semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012 ;
3.      Rapat koordinasi antara pengurus MKKS SMA Kabupaten Jepara ;
4.      Serta sumber dari Internet.
Maka pelaksanaan Ulangan Standar Mutu Tengah Semester Genap (USMTS-2)/Mid Semester Genap dan Pra-UN,  Ujian Sekolah dan Ulangan Standar Mutu Kenaikan Kelas Akhir Semester Genap SMA Kabupaten Jepara Tahun Pelajaran 2011/2012 akan segera kita jelang dan harus kita persiapkan bersama.

Sebagai rambu-rambu dari rencana pelaksanaan kegiatan tersebut, maka dapat didiskripsikan sebagai berikut ;

No
Kegiatan
Diskripsi Kegiatan MGMP dan MKKS
Tgl Pelaksanaan
Setor Naskah
Editing Naskah
1
Mid Smt-2/Pra UN
27/2 – 6/3 2012
23-24 jan. 2012
27-28 Jan. 2012
2
Ujian Sekolah
19-27 Maret 2012
2-3 Maret 2012
4-5 Maret 2012
3
USMKK Smt-2
7-14 Juni 2012
27-28 April 2012
30/4-1 Mei 2012
Rencana diskripsi kegiatan tersebut selengkapnya pada lampiran.

Agar dalam persiapan dan pelaksanaan kegiatan tersebut dapat sesuai yang kita harapkan, maka kepada Bapak/Ibu Ketua MGMP Mata Pelajaran agar segera melakukan koordinasi dan pembagian tugas dalam penyusunan naskah soal kepada para anggotanya dan menyerahkan naskah soal sesuai ketentuan yang berlaku dan waktu yang telah ditetapkan.(Jadwal menyusul).
Apabila dalam rentang waktu terdapat perubahan karena perkembangan dimohon berkoordinasi dengan kepada sekolahnya masing-masing.
Demikian surat informasi persiapan kegiatan disampaikan dan terima kasih atas kerjasama dan perhatiannya.
Pengurus MKKS SMA Kab. Jepara
Sekretaris,




Drs. Nur Kholiq,M.Pd
Pembina Tk. I
NIP.196301081987031004

TUJUH KUNCI MENUJU SEKOLAH SUKSES MENURUT OUCHI


Oleh Suparlan *) 
Pengantar
Artikel ini ditulis dengan menggunakan referensi buku bertajuk “Making Schools Work” karya William G. Ouchi, seorang professor dari Sanford and Betty Sigoloff dalam bidang Corporate Renewal di Anderson Graduate School of Management Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat. Ouchi telah menulis buku yang sangat laris. Buku itu antara lain membahas teori dan praktik organisasi dan manajemen di sekolah. Sungguh, tujuh kunci menuju sekolah sukses menurut Ouchi perlu menjadi bahan introspeksi bagi kita semua, khususnya bagi pemangku kepentingan di sekolah, dan lebih khusus lagi bagi kepala sekolah.
Dalam bagian pertama bukunya, Ouchi menyatakan dengan tegas bahwa,
“There are three basic theories that we hear from education experts, schools officials, and press to explain the failure of our schools: first, the teachers aren’t any good, and they are the source of the failures; second, the students, especially minority students, just aren’t able or willing to learn; and third, we have to spend more money on our schools to improve them (hal. 8)
Bila diterjemahkan secara bebas, Ouchi menyatakan bahwa para ahli pendidikan, praktisi pendidikan, dan kalangan media massa telah menjelaskan bahwa kesalahan atau kekurangan sekolah-sekolah kita adalah karena tiga faktor utama, yakni guru yang tidak memiliki kemampuan, peserta dididk yang tidak memiliki kemauan belajar, dan rendahnya anggaran yang disediakan. Menanggapi pandangan tersebut, Ouchi menolak tegas. All three of these theories are wrong. Ketiga teori tersebut salah. Beliau menawarkan cara pandang baru dalam mencoba untuk memecahkan masalah pendidikan. Pikirkan ini, katanya lebih lanjut. Ouchi menawarkan pendekatan manajemen, Ketika satu bisnis sedang jatuh, pemilik perusahaan tidak pernah menyalahkan pelanggan. Juga tidak pernah menyalahkan pegawai yang bekerja di garis depan, atau juga tidak menyalahkan karena rendahnya anggaran. Jadi, yang salah adalah manajemennya. Tidak ada yang salah dengan gurunya. Tidak ada yang salah dengan peserta didiknya, dan juga tidak ada yang salah dengan anggarannya. Sekali lagi, yang salah adalah sistem manajemennya. Sampai di sini, penulis ingat pendapat James Gwee, pakar motivasi dari Academy of Singapore. Kalau mau membangun Indonesia, faktor apanya yang pertama perlu dibangun? Manusianya atau sistemnya. Katanya, tidak ada yang salah dengan manusianya. Juga tidak ada yang salah dengan sumber alamnya yang melimpah. Malah sangat melimpah. Yang yang harus dibangun pertama adalah sistemnya. Ketika orang-orang Indonesia berada di Singapura, mereka tertib mengikuti sistem yang telah bagus. Orang-orang Indonesia tidak merokok di sembarang tempat, dan sebagainya. Sebaliknya, ketika banyak orang dari Singapura pergi ke Glodok, dengan segera mereka juga akan mengikuti sistem yang berlaku di Glodok. Walhasil, yang penting adalah membangun sistemnya.
Production Function Theory
Terkait dengan teori production function theory sebagaimana dipercaya dalam dunia perusahaan, masukan instrumental dipahami sebagai komponen yang penting untuk meningkatkan kualitas produk perusahaannya. Masukan kasar (raw input) dan masukan instrumental (instrumental input) dipandang sebagai komponen yang paling dominan yang akan menjadi faktor penentu untuk meningkatkan kualitas produk. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia pendidikan. Kurikulum, guru, dan fasiltias pendidikan dinilai menjadi faktor penentu dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Betapa telah banyak guru yang dilatih, telah sekian kali kurikulum diubah dan disempurnakan, dan telah sekian banyak sekolah dibangun, dan sekian banyak fasilitas pendidikan telah dibangun dan diadakan. Tetapi, kenyataannya kualitas pendidikan di negeri ini juga belum ada bayangan yang pasti dapat meningkat. Walhasil, mutu pendidikan di negeri ini konon masih terpuruk. Rupanya, kita harus mengalihkan fokus perhatian, bukan kepada masukan instrumental semata-mata, tetapi harus lebih memfokuskan pada proses pembelajaran dan manajemennya, sebagaimana ditawarkan oleh Ouchi dengan tujuh kunci sukses.

Tujuh Kunci Menuju Sukses
“School’s educational performance may be most directly affected by how the school is managed”. Dengan kata lain, kinerja pendidikan suatu sekolah secara langsung dipengaruhi oleh bagaimana sekolah itu dikelola. Tulis Ouchi dalam bukunya. Tujuh kunci menuju sukses menurut Ouchi sebenarnya tidak lain adalah penerapan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di sekolah, bukan penerapan MBS dengan setengah hati, yang menerapkan fungsi-fungsi manajemen tertentu, yang dianggap masih bisa menguntungkan birokrat pendidikan. Contohnya, kepala sekolah tidak sepenuhnya transparan kepada komite sekolah untuk urusan subsidi yang yang anggarannya berasal pemerintah. Alasannya, komite sekolah hanya dapat bertanggung jawab untuk urusan dana yang berasal dari masyarakat. Ini merupakan bentuk pemasungan peran dan fungsi komite sekolah yang dilakukan olah birokrat pendidikan. Tujuh kunci menuju sukses menurut Ouchi adalah sebagai berikut:
Kunci 1 :
 every principal is entrepreneur (setiap kepala sekolah adalah wirausahawan)
Entrepreneur atau wirausaha merupakan lawan dari birokrat, yang setiap hari hanya asik duduk di singgasana kekuasaannya untuk menanti perintah dari atasan dan menunggu laporan dari bawahannya. Birokrat melakukan pekerjaan sesuai dengan petunjuk dari atas, meski petunjuk itu sendiri merugikan para pelanggan. Wirausaha melakukan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Apa saja yang dilakukan oleh sang kepala sekolah yang wirausahawan? Dalam bukunya, Ouchi menghadirkan contoh seorang kepala sekolah bernama Dr. Cornelius, yang baru dua tahun menjadi kepala sekolah di Wesley School di negera bagian Houston. Disebutkan bahwa beliau termasuk dalam kategori seorang educational entrepreneur atau seorang wirausahawan pendidikan. Kepala sekolah ini mendengarkan setiap keluhan para pelanngannya. Kepala sekolah memimpin – bukan memaksa – dan menaruh harapan yang tinggi kepada guru, peserta didik, dan keluarganya. Beliau melakukan yang terbaik buat siswa, bukan hanya untuk mengikuti petunjuk yang diberikan kepadanya. Beliau melaksanakan tugasnya dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) menganalisis pelanggan, (2) merancang rencana yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, (3) menyusun jadwal kegiatan sesuai dengan rencana tersebut, dan (4) memilih bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Dalam bukunya, Ouchi juga menjelaskan tentang sosok seorang kepala sekolah wirausahawan yang telah berhasil meningkatkan kualitas sekolah yang dikenal sebagai “the worst school in America” menjadi yang the best school. Nama sekolah itu adalah Goudy Elementary School. Kepala sekolah yang berhasil itu adalah Patrick Durkin (hal. 4). Karakteristik sosok kepala sekolah yang berhasil ini antara lain adalah: (1) tidak hanya mengikuti peraturan dari atasannya secara membabi buta, ia menjaga pusat perhatiannya kepada tujuan utama sekolahnya, yakni keberhasilan siswa; menurutnya, lebih mudah dan lebih baik untuk meminta maaf kepada atasannya setelah mengambil keputusan untuk sekolahnya, dibandingkan dengan cara meminta izian dahulu kepada atasan sebelum mengambil keputusan; (2) menaruh perhatian kepada keberhasilan siswa; (3) menaruh perhatian kepada peserta didik yang berasal dari keluarga yang kurang mampu; (4) mencintai sekolahnya; beliau mengetahui kondisi semua sudut yang ada di sekolahnya; beliau menyapa kepada semua gurunya dengan hangat; mengetahui sebagian besar nama-nama anak didiknya; sehingga membuat sekolahnya sebagai komunitas pembelajar (a community of learners), yang juga termasuk guru, peserta didik, dan keluarganya.
Kunci 2 :
every school control its own budget (setiap sekolah mengontrol anggarannya)
Soal uang biasanya akan menjadi faktor pemicu terjadinya saling curiga antara satu dengan yang lain, termasuk antara sekolah dengan pihak-pihak yang terkait. Masalah uang merupakan masalah yang sensitif yang dapat memicu terjadinya ketidakpercayaan antara orangtua dan masyarakat kepada sekolah. Pertanyaan tentang apakah fungsi manajemen keuangan juga termasuk yang di-MBS-kan? Tidak ada jawaban lain kecuali ya. Artinya, semua fungsi manajemen memang harus di-MBS-kan, yakni mulai dari perencanaannya, pelaksanaan, pengarahan, penganggaran, sampai dengan pelaporannya. Salah satu aspek yang krusial dalam manajemen adalah akuntabilitasnya. Ketika membuat proposal untuk memperoleh anggaran semua dapat dilaksanakan dengan baik. Juka ketiga anggaran itu telah diperolah, dan bahkan sampai dengan penggunaannya. Namun, ketika anggaran itu telah dilaksanakan, maka pertanggungjawabannya malah menjadi macet total aliyas tidak akuntabel. Proses penggunaan anggaran memang lebih mudah daripada mempertanggung-jawabkannya. Padahal, penggunaan anggaran secara terbuka akan menjadi kunci pembuka yang melahirkan kepercayaan kepada sekolah. Kalau sudah lahir kepercayaan, maka akan lahirlah kewibawaan yang diperoleh oleh sekolah tersebut.
Ada kutipan amat manis dan indah yang dapat dinukilkan dalam artikel ini untuk menggambarkan tentang betapa fair dan bersihnya proses penganggaran di sebuah sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah yang jujur:
At the end of the day, our principals believe the system is fair because their colleagues have wrestled this to the ground. And stayed in that room --- weren’t allowed to come out --- until they believe that it was fair. When people believe it is fair, parents believe it is fair, teachers believe it is fair and there are no hidden pockets of money. So your budgeting process is very public” (hal. 90).
Kutipan tersebut secara bebas dapat diterjemahkan sebagai berikut. Para guru tidak akan banyak cingcong, jika kepala sekolah telah menerapkan penyelenggaraan sekolah dengan sistem yang bersih. Jika masyarakat percaya bahwa sistem pengelolaan keuangan telah dilaksanakan dengan bersih, jika orangtua juga demikian, guru juga demikian, dan memang tidak ada uang yang dikelola dengan sembunyi-sembunyi, dalam arti tidak ada uang yang masuk kantong sendiri, maka sistem pengelolaan keuangan dapat dikatakan dapat dipertanggung-jawabkan secara akuntabel kepada publik.
Kunci 3 :
everyone is accountable for student performance and for budgets (setiap orang akuntabel terhadap kinerja peserta didik dan anggarannya)
Dalam pelaksanaan anggaran telah dinyatakan bahwa akuntabilitas menjadi salah satu aspek yang maha penting untuk dapat melahirkan kepercayaan kepada sekolah. Tetapi apakah soal akuntabilitas hanya berlaku dalam penggunaan anggaran pendidikan? Tidak! Pertanggunggugatan berlaku dalam semua pelaksanaan program dan keuangan, bahkan terhadap semua sentuhan yang diberikan kepada peserta didik oleh kepala sekolah dan gurunya di sekolah. Dinyatakan lebih lanjut bahwa:
“Accountability is as simple --- and as difficult --- as that. Sister Betty Smigla at St. Mark School in Chicago gets hugs every morning as her kids arrive as school. Her big smile and hearty energy are irresistible, but no one misses the fact that she is touch” (hal. 102).
Akuntabilitas adalah sesederhana --- dan juga sesulit --- itulah. Sister Betty Smigla di Sekolah St. Mark Chicago memperoleh pelukan hangat setiap pagi sebagaimana anak-anak didiknya tiba di sekolah. Senyumannya yang lebar dan energinya yang sepenuh hati yang demikian kuat, tetapi tak seorang pun yang kehilangan kenyataan bahwa beliau tak terpisahkan (dengan anak semua anak didiknya).
Akuntabilitas meliputi tiga bentuk, meliputi: (1) performance accountability atau akuntabilitas kinerja, (2) compliance (anticorruption) accountability atau akuntabilitas antikorupsi, and (3) political accountability atau akuntabilitas dari aspek politik (hal.102). Akuntabilitas kinerja meliputi beberapa hal: (1) hasil belajar siswa, (2) kinerja kepala sekolah, (3) kinerja staf tata usaha sekolah, (4) kinerja kepala sekolah, dan (5) kinerja para gurunya. Dengan demikian, tidak seorang pun yang akan bisa bersembunyi dari tuntutan akuntabilitas ini.
Akuntabilitas komplin merupakan satu bentuk akuntabilitas yang dewasa ini cukup mendapatkan sorotan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk ini jangan sekali-kali sekolah terkena skandal yang memalukan gara-gara adanya pertanggunggugatan keuangan yang tidak jelas. Mengapa? Berpasang-pasang mata akan selalu mengamati dengan jeli jika terjadi penyalahgunaan uang.
Dalam era otonomi daerah, akuntabilitas politik kini menjadi sorotan yang tajam dari berbagai pihak. Janji-janji politik tentang pendidikan biasanya dapat mendongkrak perolehan suara calon cukup signifikan. Namun, kini rakyat telah cukup cerdas untuk membedakan mana janji-janji yang suci dan mana pula janji-janji yang palsu. Dalam hal ini, akuntabilitas politik akan menjadi salah satu tolok ukurnya.
Kunci 4 :
everyone delegates authority to those below (setiap orang mendelegasi-kan kewenangannya kepada bawahannya).
Seorang pemimpin dalam bidang pendidikan harus dapat memimpin dan dipimpin. Bahkan, seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat membangun proses regenerasi yang dapat menghasilkan pemimpin yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kualitas pemimpin periode sebelumnya. Dalam bukunya yang laris itu, Ouchi menyatakan sebagai berikut:
“The strong leader is not afraid of argument or a tough situation. The strong leader wants to hear all sides of an argument and has enough self-confidence to openly admit when she’s wrong on an issue. In a school, that translates into leadership that doesn’t hide from teachers of order the around but instead invites them to participate and delegates decision making to them” (hal. 125).
Secara bebas, kutipan tersebut menyatakan bahwa “pemimpin yang kuat adalah tidak takut dengan argumen atau situasi yang susah. Pemimpin yang kuat ingin mendengar tentang semua sisi alasan dan mempunyai percaya diri yang cukup untuk secara terbuka mengakui salah ketika benar-benar bersalah. Di dalam sebuah sekolah, kepercayaan itu diterjemahkan ke dalam kepemimpinan yang tidak lagi tersembunyi dari guru-guru yang berada di sekitar, kecuali mengundangnya untuk dapat berpartisipasi and mendelegasikan tentang pengambilan keputusan kepada bawahan. Atasan siap memberikan pendelegasian kepada bawahannya, dan bawahannya menerima tanggung jawab tersebut dengan penuh tanggung jawab. Dengan cara seperti itu setiap kita pegiat pendidikan adalah pemimpin yang siap dimintai pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan tentang apa-apa yang kita pimpin.
Kunci 5 :
there is a burning focus on student achievement (difokuskan kepada hasil belajar siswa)
Tidak ada sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba tanpa rencana dan usaha. Demikian juga dengan hasil belajar siswa. Tidak ada rencana dan usaha yang berhasil dengan baik tanpa ada fokus dalam rencana dan pelaksanaannya. Fokus terhadap hasil belajar peserta didik yang dimaksud adalah nilai rerata yang diperoleh peserta didik dalam ujian nasional. Keberhasilan akademis memang menjadi fokus kegiatan satuan pendidikan dan semua pemangku kepentingan di sekolah itu. Namun demikian, fokus keberhasilan dalam aspek nonakademis hendaknya juga menjadi perhatian bagi semua pihak. Dalam buku itu Ouchi juga menggambarkan dua dunia yang yang masing-masing harus mendapatkan perhatian.
”It gives students the best of two worlds: they can have the specialized programs like dance, jazz band, orchestra, football, swim team, and turbocharged classes in math, English, and other academics subjects” (hal. 149)
Untuk selalu terfokus kepada hasil belajar peserta didik tersebut, sekolah harus memiliki data yang lengkap tentang semua prestasi peserta didiknya dalam berbagai bidang. Bahkan, prestasi itu pun biasanya selalu dibandingkan prestasi peserta didik dari satuan pendidikan yang lain. Strategi ini dikenal dengan sebutan benchmarking, baik secara intern maupun secara ekstern. Dalam hal ini, sekolah perlu memberikan reward (penghargaan dan ganjaran) bagi peserta didik --- bahkan gurunya --- yang telah berhasil mencapai prestasi yang membanggakan bagi peserta didik setiap tahun.
Kunci 6 :
every schools is a community of learners (setiak sekolah merupakan komunitas pembelajar)
Masyarakat sesungguhnya merupakan pemilik sejati lembaga pendidikan atau satuan pendidikan. Dengan demikian, keberadaan lembaga pendidikan sekolah menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan masyarakatnya. Dalam hal ini orangtua siswa menjadi bagian dari masyarakat. Itulah sebabnya kemudian lembaga pendidikan sekolah ini harus memerankan diri sebagai satu institusi masyarakat belajar (learning community). Untuk menjadi institusi seperti itu, maka sekolah perlu melakukan tiga langkah sebagai berikut:
Pertama, mengadakan identifikasi kebutuhan dan keinginan warga masyarakat dan keluarga peserta didik. Dalam buku ini, ditegaskan satu konsep hubungan sinergis antara sekolah dengan masyarakat sebagai berikut.
”If you want a successful school, you have to first analyze the situation and find out what people want, and then you have to have courage and the persistence to move all of the obstacles out of the way. The key, though, is that the parents stuck to their guns, and the principal and the teachers took them seriously. What resulted was not a conflict but a creative struggle that produced and entirely new path for all” (hal. 161).
“Jika Anda menginginkan satu sekolah yang sukses, pertama kali yang harus Anda lakukan adalah menganalisis situasi dan menemukan keinginan masyarakat, dan kemudian Anda harus memiliki keteguhan hati dan ketekunan untuk mengatasi berbagai hambatan untuk keluar dari masalah itu. Kuncinya, lebih dahulu, adalah orangtua bertahan pada pendiriannya, dan kepala sekolah dan para guru mengajak secara sungguh-sungguh. Apa yang dihasilkan adalah bukan konflik tetapi satu perjuangan kreatif yang menghasilkan dan keseluruhannya sebagai jalan baru untuk semua”.
Dengan demikian, apa yang dilakukan sekolah bukanlah kemauan sekolah secara sepihak, apalagi kemauan kepala sekolah secara otoriter, melainkan kemauan bersama dengan orangtua dan masyarakat.
Kedua, mengorganisasikan unit-unit organisasi di lingkungan sekolah dan mampu bekerjasama dengan masyarakat. Di sekolah ini, semua siswa merasa sebagai rumahnya sendiri, meski mereka berasal dari unit-unit yang berbeda-beda, misalnya untuk Sekolah Menengah Kejuruan, mereka ada yang berasal dari jurusan teknologi informasi, jurusan mesin, otomotif, dan jurusan lainnya. Di Sekolah Menengah Atas, mereka berasal dari jurusan IPA, IPS, atau juga Bahasa. Demikian juga keberadaan unit-unit penunjang, seperti perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya. Semua unit melaksanakan tugasnya masing-masing untuk mendukung pencapaian visi dan misi sekolah.
Ketiga, membangun satu komunitas guru yang melaksanakan fungsinya bukan saja sebagai guru tetapi juga pendidik. The most important thing of all --- how the teachers teach (hal. 169). Mereka mengajar dengan menggunakan paradigma baru pembelajaran. Problem-based learning (PBL), Student Active Learning (SAL), Joyful Active Learning (JAL), atau juga Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). Penedekatan pembelajaran tersebut harus diakrabi oleh para pendidik di sekolahnya, dan berusaha untuk mengembangkannya.

Dengan motivasi yang diberikan oleh kepala sekolah dan pembinaan dan motivasi yang secara rutin dilakukan oleh para pengawas sekolah dan pejabat dinas pendidikan, para guru akan memiliki kompetensi yang memadai tentang bagaimana menyusun KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang harus disiapkan setiap tahun pelajaran.


Kunci 7:
families have real choices among a variety of unique schools (keluarga mempunyai pilihan nyata terhadap sekolah-sekolah yang memiliki keunikan yang beraneka ragam).
Semua kabupatan/kota kini telah diarahkan agar mulai mengembangkan model-model sekolah, mulai dari yang berstandar internasional sampai dengan yang berstandar lokal. Sebagai contoh, Sekolah berstandar internasional (SBI) --- yang karena satu dan lain hal dipaksa hadir ---, mampu menampung anak-anak berbakat, baik anak-anak yang berasal dari keluarga mampu maupun yang tidak mampu. Sekolah ini mementingkan kualitas akademis. Sudah tentu, perlu mengembangkan model sekolah yang unik yang mementikan kualitas nonakademis. Ada sekolah standar nasional (SSN) dan sekolah swasta yang kualitasnya memenuhi standar nasional. Ada sekolah yang sepenuhnya didanai dari anggaran pemerintah untuk menampung anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Di sekolah ini siswa seharusnya memang tidak akan dipungut biaya apa pun, karena sekolah ini dibangun sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam rangka pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Dengan kepelbagaian jenis layanan pendidikan tersebut, diharapkan keluarga akan dapat secara leluasa untuk menentukan pilihan sekolah sesuai dengan potensi peserta didik dan kemampuan sosial ekonomi masyarakat. Dengan kata lain, sukses tidaknya sekolah di satu kabupaten/kota memberikan kemudahan keluarga untuk memilih sekolah yang mana yang dinilai sesuai dan terbaik untuk anak-anaknya.
Akhir Kata
Keputusan untuk menjadi sekolah yang sukses atau sekolah yang gagal terletak pada banyak pihak. Semua pemangku kepentingan pendidikan (educational stakeholders) akan menjadi komponen yang paling menentukan kesuksesan sekolah. Dua kata kunci menjadi faktor utamanya, yakni memiliki kemauan dan kemampuan untuk berubah, mencoba menerapkan tujuh kunci keberhasilan tersebut. Insya Allah.

PENTINGNYA SUPERVISI PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU

                                                           Oleh : Drs. Nur Kholiq,M.Pd
Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah.
Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat.[1]
Masyarakat mempercayai, mengakui dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu  mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, professional, maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan.
Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
  1. Pengertian Supervisi
Konsep supervisi modern dirumuskan oleh Kimball Wiles (1967) sebagai berikut : “Supervision is assistance in the devolepment of a better teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method, teacher, student, an envirovment). Situasi belajar inilah yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan melalui layanan kegiatan supervisi. Dengan demikian layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.
Konsep supervisi tidak bisa disamakan dengan inspeksi, inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan bersifat otoriter, sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru, karena bersifat demokratis. Istilah supervisi pendidikan dapat dijelaskan baik menurut asal usul (etimologi), bentuk perkataannya (morfologi), maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu ( semantik).
1)      Etimologi
Istilah supervisi diambil dalam perkataan bahasa Inggris “ Supervision” artinya pengawasan di bidang pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor.
2)      Morfologis
Supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk perkataannya. Supervisi terdiri dari dua kata.Super berarti atas, lebih. Visi berarti lihat, tilik, awasi. Seorang supervisor memang mempunyai posisi diatas atau mempunyai kedudukan yang lebih dari orang yang disupervisinya.
3)      Semantik
     Pada hakekatnya isi yang terandung dalam definisi yang rumusanya tentang sesuatu tergantung dari orang yang mendefinisikan. Wiles secara singkat telah merumuskan bahwa supervisi sebagai bantuan pengembangan situasi mengajar belajar agar lebih baik. Adam dan Dickey merumuskan supervisi sebagai pelayanan khususnya menyangkut perbaikan proses belajar mengajar. Sedangkan Depdiknas (1994) merumuskan supervisi sebagai berikut : “ Pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik “. Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Untuk itu ada dua hal (aspek) yang perlu diperhatikan :
a.       Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
b.      Hal-hal yang menunjang kegiatan belajar mengajar
Karena aspek utama adalah guru, maka layanan dan aktivitas kesupervisian harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Untuk itu guru harus memiliki yakni : 1) kemampuan personal, 2) kemampuan profesional 3) kemampuan sosial (Depdiknas, 1982).
Atas dasar uraian diatas, maka pengertian supervisi dapat dirumuskan sebagai berikut “ serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor ( Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada pembinaan guru tersebut pula “Pembinaan profesional guru“ yakni pembinaan yang lebih diarahkan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru.
Supervisi dapat kita artikan sebagai pembinaan. Sedangkan sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha. Namun yang menjadi sasaran supervisi diartikan pula pembinaan guru.[1]

  1. Pentingnya Pengembangan Sumber Daya Guru dengan Supervisi
Di abad sekarang ini,  yaitu era globalisasi dimana semuanya serba digital, akses informasi sangat cepat dan persaingan hidup semakin ketat, semua bangsa berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia. Hanya manusia yang mempunyai sumber daya unggul dapat bersaing dan mempertahankan diri dari dampak persaingan global yang ketat. Termasuk sumber daya pendidikan. Yang termasuk dalam sumber daya pendidikan yaitu ketenagaan, dana dan sarana dan prasarana.[2]
Guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.
Ada dua metafora untuk menggambarkan pentingnya pengembangan sumber daya guru. Pertama, jabatan guru diumpamakan dengan sumber air. Sumber air itu harus terus menerus bertambah, agar sungai itu dapat mengalirkan air terus-menerus. Bila tidak, maka sumber air itu akan kering. Demikianlah bila seorang guru tidak pernah membaca informasi yang baru, tidak menambah ilmu pengetahuan tentang apa yang diajarkan, maka ia tidak mungkin memberi ilmu dan pengetahuan dengan cara yang lebih menyegarkan kepada peserta didik.
Kedua, jabatan guru diumpamakan dengan sebatang pohon buah-buahan. Pohon itu tidak akan berbuah lebat, bila akar induk pohon tidak menyerap zat-zat makanan yang berguna bagi pertumbuhan pohon itu. Begitu juga dengan jabatan guru yang perlu bertumbuh dan berkembang. Baik itu pertumbuhan pribadi guru maupun pertumbuhan profesi guru. Setiap guru perlu menyadari bahwa pertumbuhan dan pengembangan profesi merupakan suatu keharusan untuk menghasilkan output pendidikan berkualitas. Itulah sebabnya guru perlu belajar terus menerus, membaca informasi terbaru dan mengembangkan ide-ide kreatif dalam pembelajaran agar suasana belajar mengajar menggairahkan dan menyenangkan baik bagi guru apalagi bagi peserta didik.
Peningkatan sumber daya guru bisa dilaksanakan dengan bantuan supervisor, yaitu orang ataupun instansi yang melaksanakan kegiatan supervisi terhadap guru. Perlunya bantuan supervisi terhadap guru berakar mendalam dalam kehidupan masyarakat. Swearingen mengungkapkan latar belakang perlunya supervisi berakar mendalam dalam kebutuhan masyarakat dengan latar belakang sebagai berikut :
1.      Latar Belakang Kultural
Pendidikan berakar dari budaya arif lokal setempat. Sejak dini pengalaman belajar dan kegiatan belajar-mengajar harus daingkat dari isi kebudayaan yang hidup di masyarakat itu. Sekolah bertugas untuk mengkoordinasi semua usaha dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
2.      Latar Belakang Filosofis
Suatu system pendidikan yang berhasil guna dan berdaya guna bila ia berakar mendalam pada nilai-nilai filosofis pandangan hidup suatu bangsa.
3.      Latar Belakang Psikologis
Secara psikologis supervisi itu berakar mendalam pada pengalaman manusia. Tugas supervisi ialah menciptakan suasana sekolah yang penuh kehangatan sehingga setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri.
4.      Latar Belakang Sosial
Seorang supervisor dalam melakukan tanggung jawabnya harus mampu mengembangkan potensi kreativitas dari orang yang dibina melalui cara mengikutsertakan orang lain untuk berpartisipasi bersama. Supervisi harus bersumber pada kondisi masyarakat.
5.      Latar Belakang Sosiologis
Secara sosiologis perubahan masyarakat punya dampak terhadap tata nilai. Supervisor bertugas menukar ide dan pengalaman tentang mensikapi perubahan tata nilai dalam masyarakat secara arif dan bijaksana.
6.      Latar Belakang Pertumbuhan Jabatan
Supervisi bertugas memelihara, merawat dan menstimulasi pertumbuhan jabatan guru. Diharapkan guru menjadi semakin professional dalam mengemban amanat jabatannya dan dapat meningkatkan posisi tawar guru di masyarakat dan pemerintah, bahwa guru punya peranan utama dalam pembentukan harkat dan martabat manusia.
 Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).
Supandi (1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi dalam proses pendidikan.
1.      Perkembangan kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.
2.      Pengembangan personel, pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.
Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Secara umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran, yakni:
1.      Supervsi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru.
Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
2.      Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kinerja.
Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi:
a.       Bidang Akademik, mencakup kegiatan:
1)      menyusun program tahunan dan semester,
2)      mengatur jadwal pelajaran,
3)      mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran,
4)      menentukan norma kenaikan kelas,
5)      menentukan norma penilaian,
6)      mengatur pelaksanaan evaluasi belajar,
7)      meningkatkan perbaikan mengajar, mengatur kegiatan kelas apabila guru tidak hadir, dan
9)      mengatur disiplin dan tata tertib kelas.
b.      Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan:
1)      mengatur pelaksanaan penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru,
2)      mengelola layanan bimbingan dan konseling,
3)      mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan
4)      mengatur dan mengelola kegiatan ekstrakurikuler.
c.       Bidang Personalia, mencakup kegiatan:
1)      mengatur pembagian tugas guru,
2)      mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru,
3)      mengatur program kesejahteraan guru,
4)      mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan
5)      mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru.
d.      Bidang Keuangan, mencakup kegiatan:
1)      menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah,
2)      mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah,
3)      mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan
4)      mempertanggungjawabkan keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
e.       Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:
1)      penyediaan dan seleksi buku pegangan guru,
2)      layanan perpustakaan dan laboratorium,
3)      penggunaan alat peraga,
4)      kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah,
5)      keindahan dan kebersihan kelas, dan
6)      perbaikan kelengkapan kelas.
f.        Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan:
1)      kerjasama sekolah dengan orangtua siswa,
2)      kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah,
3)      kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan
4)      kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar (Depdiknas 1997).
Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya :
a.       Penggunaan program semester
b.      Penggunaan rencana pembelajaran
c.       Penyusunan rencana harian
d.      Program dan pelaksanaan evaluasi
e.       Kumpulan soal
f.        Buku pekerjaan siswa
g.       Buku daftar nilai
h.       Buku analisis hasil evaluasi
i.         Buku program perbaikan dan pengayaan
j.        Buku program Bimbingan dan Konseling
k.      Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler

  1. Profesionalisme Guru
Profesionalisme menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi.
Guru yang profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Studi yang dilakukan oleh Ace Suryani menunjukkan bahwa Guru yang bermutu dapat diukur dengan lima indikator, yaitu: pertama, kemampuan profesional (professional capacity), sebagaimana terukur dari ijazah, jenjang pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya profesional (professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan mengajar, pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (teacher’s time), sebagaimana terukur dari masa jabatan, pengalaman mengajar serta lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya (link and match), sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang diampu, apakah telah sesuai dengan spesialisasinya atau tidak, serta kelima, tingkat kesejahteraan (prosperiousity) sebagaimana terukur dari upah, honor atau penghasilan rutinnya. Tingkat kesejahteraan yang rendah bisa mendorong seorang pendidik untuk melakukan kerja sambilan, dan bilamana kerja sambilan ini sukses, bisa jadi profesi mengajarnya berubah menjadi sambilan.
Guru yang profesional amat berarti bagi pembentukan sekolah unggulan. Guru profesional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum.[3]
Dewasa ini banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga tidak jarang yang mengingat terhadap tujuan pendidikan yang menjadi kewajiban dan tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan tugas utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya. Terjadi ketidaksiapan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar ketika guru tidak memahami tujuan umum pendidikan. Bahkan ada yang mempunyai kebiasaan mengajar yang kurang baik yaitu tiga perempat jam pelajaran untuk basa-basi bukan apersepsi dan seperempat jam untuk mengajar. Suatu proporsi yang sangat tidak relevan dengan keadaan dan kebutuhan siswa. Guru menganggap siswa hanya sebagai pendengar setia yang tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya.
Banyak kegiatan belajar mengajar yang tidak sesuai dengan tujuan umum pendidikan yang menyangkut kebutuhan siswa dalam belajar, keperluan masyarakat terhadap sekolah dan mata pelajaran yang dipelajari. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan yang pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur ketika yang dihadapi ternyata masih anak-anak dan kalah dalam pengalaman. Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar dengan menggunakan LKS ( Lembar Kegiatan Siswa ) yang berupa soal serta sedikit ringkasan materi.
Dapat dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum, jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin. Lebih banyak pengunjung yang berseragam sekolah daripada berseragam PSH. Kita masih harus “Khusnudhon” bahwa dirumah mereka berlangganan koran harian yang siap disantap setiap pagi. Tetapi ada juga kekhawatiran bahwa yang lebih banyak dibaca adalah berita-berita kriminal yang menempati peringkat pertama pemberitaan di koran maupun televisi. Sedangkan berita-berita mengenai pendidikan, penemuan-penemuan baru tidak menarik untuk dibaca dan tidak menarik perhatian. Kebiasaan membaca saja sulit dilakukan apalagi kebiasaan menulis menjadi lebih mustahil dilakukan. Ini adalah realita dilapangan yang patut disesalkan.
Sarana dan prasarana penunjang pelajaran yang kurang memadai, terutama di daerah terpencil. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa dengan sarana yang minimpun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mendaptkan hasil yang bagus. Terkadang kita juga harus memakai prisip ekonomi yang ternyata dapat membawa kemajuan. Yang sering dijumpai adalah sudah ada sarana tetapi tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Peta dunia hanya dipajang di depan kelas, globe atau bola dunia dibiarkan berkarat tidak pernah tersentuh, buku-buku pelajaran diperpustakaan dimakan rayap, alat-alat praktek di laboratorium hanya tersimpan rapi di almari tidak pernah dipergunakan. Media pengajaran yang sudah ada jangan dibiarkan rusak atau berkarat gara-gara disimpan. Lebih baik rusak karena digunakan untuk praktek siswa. Guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam pemakaian sarana dan media yang ada demi peningkatan mutu pendidikan. Sekolah juga tidak harus bergantung pada bantuan dari pemerintah mengingat kebutuhan masing-masing sekolah tidaklah sama.
Tingkat kesejahteraan guru yang kurang mengakibatkan banyak guru yang malas untuk berprestasi karena disibukkan mencari tambahan kebutuhan hidup yang semakin berat. Anggaran pendidikan minimal 20 % harus dilaksanakan dan diperjuangkan unutk ditambah karena pendidikan menyangkut kelangsungan hidup suatu bangsa. Apabila tingkat kesejahteraan diperhatikan, konsentrasi guru dalam mengajar akan lebih banyak tercurah untuk siswa.
Penataran dan pelatihan mutlak diperlukan demi meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kompetensi guru. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi hasilnya juga akan seimbang jika dilaksanakan secara baik. Jika kegiatan penataran, pelatihan dan pembekalan tidak dilakukan, guru tidak akan mampu mengembangkan diri, tidak kreatif dan cenderung apa adanya. Kecenderungan ini ditambah dengan tidak adanya rangsangan dari pemerintah atau pejabat terkait terhadap profesi guru. Rangsangan itu dapat berupa penghargaan terhadap guru-guru yang berprestasi atau guru yang inovatif dalam proses belajar mengajar.
Guru harus diberi keleluasaan dalam menetapkan dengan tepat apa yang digagas, dipikirkan, dipertimbangkan, direncanakan dan dilaksanakan dalam pengajaran sehari-hari, karena di tangan gurulah keberhasilan belajar siswa ditentukan, tidak oleh Bupati, Gubernur, Walikota, Pengawas, Kepala Sekolah bahkan Presiden sekalipun.
Mutlak dilakukan ketika awal menjadi guru adalah memahami tujuan umum pendidikan, mamahami karakter siswa dengan berbagai perbedaan yang melatar belakanginya. Sangatlah penting untuk memahami bahwa siswa balajar dalam berbagai cara yang berbeda, beberapa siswa merespon pelajaran dalam bentuk logis, beberapa lagi belajar dengan melalui pemecahan masalah (problem solving), beberapa senang belajar sendiri daripada berkelompok.
Cara belajar siswa yang berbeda-beda, memerlukan cara pendekatan pembelajaran yang berbeda. Guru harus mempergunakan berbagai pendekatan agar anak tidak cepat bosan. Kemampuan guru untuk melakukan berbagai pendekatan dalam belajar perlu diasah dan ditingkatkan. Jangan cepat merasa puas setelah mengajar, tetapi lihat hasil yang didapat setelah mengajar. Sudahkah sesuai dengan tujuan umum pendidikan. Perlu juga dipelajari penjabaran dari kurikulum ang dipergunakan agar yang diajarkan ketika di kelas tidak melencenga dari GBBP/kurikulum yang sudah ditentukan.
Guru juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang psikologi pendidikan dalam menghadapai siswa yang berneka ragam. Karena tugas guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang akan membentuk jiwa dan kepribadian siswa. Maju dan mundur sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan guru dalam mendidik siswanya.
Pemerintah juga harus senantiasa memperhatikan tingkat kesejahteraan guru, karena mutlak diperlukan kondisi yang sejahtera agar dapat bekerja secara baik dan meningkatkan profesionalisme. Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan tyahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1933 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional.
Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni:
1)      Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2)      Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
3)      Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
4)      Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
5)      Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
1)         Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
2)         Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
3)         Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4)         Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.
5)         Menguasai landasan-landasan pendidikan.
6)         Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.
7)         Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
8)         Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
9)         Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10)     Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5).

  1. Konsep Mutu Pendidikan
Proses pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut Townsend dan Butterworth (1992:35) dalam bukunya Your Child’s Scholl, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni:
1)      keefektifan kepemimpinan kepala sekolah
2)      partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf,
3)      proses belajar-mengajar yang efektif,
4)      pengembangan staf yang terpogram,
5)      kurikulum yang relevan,
6)      memiliki visi dan misi yang jelas,
7)      iklim sekolah yang kondusif,penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan,
9)      komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan
10)  keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik.
Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu (Surya, 2002:12).
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas, 2001:5). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya.
Berdasarkan konsep mutu pendidikan maka dpaat dipahami bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas – batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement).
Selama tahun 2002 dunia pendidikan ditandai dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, serempak, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah Pendidikan Berbasis Luas (PBL/BBE) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/CBC), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir Nasional (UAN) pengganti EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan dewan pendidikan kabupaten/kota. Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya sendiri.
Fenomena yang menarik adalah perubahan itu umumnya memiliki sifat yang sama, yakni menggunakan kata berbasis (based). Bila diamati lebih jauh, perubahan yang “berbasis” itu umumnya dari atas ke bawah: dari pusat ke daerah, dari pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah, dari pemerintah ke masyarakat, dari sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Istilah-istilah lain yang populer dan memiliki nuansa yang sama dengan “berbasis” adalah pemberdayaan (empowerment), akar rumput (grass-root), dari bawah ke atas (bottom up), dan sejenisnya. Apa itu artinya?
Simak saja label-label perubahan yang dewasa ini berseliweran dalam dunia pendidikan nasional (kadang-kadang dipahami secara beragam): manajemen berbasis sekolah (school based management), peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality improvement), kurikulum berbasis kompetensi (competence based curriculum), pengajaran/pelatihan berbasis kompetensi (competence based teaching/training), pendidikan berbasis luas (broad based education), pendidikan berbasis masyarakat (community based education), evaluasi berbasis kelas (classroom based evaluation), evaluasi berbasis siswa (student based evaluation) dikenal juga dengan evaluasi portofolio, manajemen pendidikan berbasis lokal (local based educational management), pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat (community based educational financing), belajar berbasis internet (internet based learning), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan entah apa lagi.
Fullan & Stiegerbauer (1991: 33) dalam “The New Meaning of Educational Change” mencatat bahwa setiap tahun guru berurusan dengan sekitar 200.000 jenis urusan dengan karakteristik yang berbeda dan itu merupakan sumber stres bagi mereka. Mungkin tak aneh bila dilaporkan banyak guru mengalami stres dan jenuh.
Supriadi (2002:17) mengatakan: “orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan”. Sejak awal, berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan. Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang melaksanakannya.
Langkah percepatan dapat saja dilakukan, tetapi dengan risiko kegagalan yang besar akibat inovasi itu kurang dihayati secara penuh oleh pelaksananya. Kami menilai bahwa banyak inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia dewasa ini yang melanggar prinsip-prinsip tersebut, di samping secara konseptual “cacat sejak lahir”, serba tergesa-gesa, serba instan, targetnya tidak realistik, didasari asumsi yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus begitu diluncurkan, dan secara implisit dimuati obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa depan.

I.               KESIMPULAN
Kebijakan pendidikan harus ditopang oleh pelaku pendidikan yang berada di front terdepan yakni guru melalui interaksinya dalam pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan perlu dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada rencana strategis. Keterlibatan seluruh komponen pendidikan (guru, Kepala Sekolah, masyarakat, Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, dan isntitusi) dalam perencanaan dan realisasi program pendidikan yang diluncurkan sangat dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan.
Implementasi kemampuan professional guru mutlak diperlukan sejalan diberlakukannya otonomi daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.
Salah satu upaya peningkatan profesional guru adalah melalui supervisi pengajaran. Pelaksanaan supervisi pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien. Dalam pelaksanaannya, baik kepala sekolah dan pengawas menggunakan lembar pengamatan yang berisi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru dan kinerja sekolah. Untuk mensupervisi guru digunakan lembar observasi yang berupa alat penilaian kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi kinerja sekolah dilakukan dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan, personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat.
Implementasi kemampuan professional guru mensyaratkan guru agar mampu meningkatkan peran yang dimiliki, baik sebagai informatory(pemberi informasi), organisator, motivator, director, inisiator (pemrakarsa inisiatif), transmitter (penerus), fasilitator, mediator, dan evaluator sehingga diharapkan mampu mengembangkan kompetensinya.
Mewujudkan kondisi ideal di mana kemampuan professional guru dapat diimplementasikan sejalan diberlakukannya otonomi daerah, bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut lantaran aktualisasi kemampuan guru tergantung pada berbagai komponen system pendidikan yang saling berkolaborasi. Oleh karena itu, keterkaitan berbagai komponen pendidikan sangat menentukan implementasi kemampuan guru agar mampu mengelola pembelajaran yang efektif, selaras dengan paradigma pembelajaran yang direkomendasiklan Unesco, “belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be)”.





DAFTAR PUSTAKA
 Balitbang Depdiknas. 2001. Data Standardisasi Kompetensi Guru.
(http://www.depdiknas.go.id.html).
 Berliner, David. 2000. Educational Reform in an Era of Disinformation.
(http://www.olam.asu.edu/epaa/v1n2.html).

 Depdiknas. 1997. Petunjuk Pengelolaan Adminstrasi Sekolah Dasar.Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Depdiknas.
Fullan & Stiegerbauer.1991. The New Meaning of Educational Change. Boston: Houghton Mifflin Company.
Sapari, Achmad. 2002. Pemahaman Guru Terhadap Inovasi Pendidikan. Artikel. Jakarta: Kompas (16 Agustus 2002).
Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sucipto. 2003. Profesionalisasi Guru Secara Internal, Akuntabiliras Profesi. Makalah Seminar Nasional. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Supandi. 1996. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Departemen Agama Universitas Terbuka.
Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Supriadi, Dedi. 2002. Laporan Akhir Tahun Bidang Pendidikan & Kebudayaan. Artikel. Jakarta : Kompas.
Suprihatin, MD. 1989. Administrasi Pendidikan, Fungsi dan Tanggung Jawab Kepala Sekolah sebagai Administrator dan Supervisor Sekolah. Semarang: IKIP Semarang Press.
Surya, Mohamad. 2002. Peran Organisasi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Seminar Lokakarya Internasional. Semarang : IKIP PGRI.
Suryasubrata.1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Wardani, IGK. 1996. Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). Jakarta: Dirjen Dikti.
Townsend, Diana & Butterworth. 1992. Your Child’s Scholl. New York: A Plime Book.
Usman, Moh Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya